SI
JANDA DAN KETELA POHON
(Oleh:
Suhita Whini S.)
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda di
sebuah desa terpencil. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, setiap hari ia
menjual dedaunan dan rempah-rempah hasil ladang miliknya yang tak
seberapa luas. Suatu hari terjadi serangan babi hutan.
Seluruh ladang petani di desa itu
hancur karena serangan binatang buas itu, termasuk
ladang si Janda. Si janda sangat sedih karenanya. Ladang itu adalah
satu-satunya sumber penghidupannya. Kini ladang itu telah rusak dan ia tidak
tahu harus berbuat apa. Dalam keputusasaannya, ia berjalan menyusuri
hutan seorang diri. Ia berharap dapat menemukan sesuatu yang bisa dijual ke
pasar. Tak lama kemudian sampailah ia pada sebuah pohon aneh yang rindang dan
besar. Buahnya panjang dan berwarna cokelat tua. Si Janda tak pernah tahu
tentang keberadaan pohon tersebut sebelumnya. Ia lalu duduk di bawah pohon itu
untuk melepas lelah. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, "Hai
anak manusia, mengapa kau duduk di situ? Tidakkah kau harus bekerja mengurus
keluargamu?" Si Janda sangat terkejut, lalu mencari asal suara itu.
Mengetahui asal suara yang menggelegar itu dari pohon yang berdiri kokoh
di depannya, tubuh si Janda gemetar. Lidahnya kelu. "Jangan takut, aku tak
bermaksud jahat padamu. Ayolah, jawab pertanyaanku," balas suara tadi.
Setelah mengumpulkan segala keberaniannya, akhirnya si Janda menceritakan
kejadian yang menimpanya serta tujuannya datang ke hutan itu. "Kasihan
sekali kau. Kalau begitu, izinkan aku membantumu, terimalah pemberianku
ini." Pohon itu lalu menjatuhkan beberapa buahnya. Akan tetapi, si Janda
bingung bagaimana cara memakannya. Sebab, baru kali ini dia melihat buah aneh
itu. "Jangan bingung, rebus saja buahku, kau sudah dapat
menikmatinya," terdengar sang pohon menjelaskan. "Terima kasih, wahai
pohon yang baik.Aku sangat tertolong sekarang. Dengan apa aku harus membalas
kebaikanmu ini?" "Tak apa-apa, kau tak perlu membalasnya. Aku hanya
ingin membantu. Oh ... aku lupa memperkenalkan, namaku Ketela Pohon.".
"Sekali lagi terima kasih, Ketela Pohon." Begitulah seterusnya, hidup
si Janda kini ditopang sepenuhnya oleh Ketela Pohon. Buah pemberian Ketela
Pohon sebagian dimakan dan sisanya dijual ke pasar. Orang-orang sangat menyukai
buah yang dijual oleh si Janda, walaupun awalnya mereka merasa asing. Pada
suatu hari, tak seperti biasanya si Janda tidak pergi ke hutan untuk mengambil
buah Ketela Pohon. Hari itu ia masih mempunyai persediaan untuk dimakan
sekaligus untuk dijual. Keesokan harinya saat berjualan di pasar, ia mendengar
kabar bahwa kemarin pasukan kerajaan membabat habis hutan di daerahnya. Si
Janda sangat terkejut. Ia lalu lari tunggang langgang menuju ke hutan. Ia ingin
membuktikan kebenaran berita itu. Jika memang benar, sungguh ia tidak ingin
kehilangan dewa penolongnya yang sudah banyak membantunya saat mengalami
kesulitan hidup. Sesampai di dalam hutan, tubuh si Janda lemas. Tak ada
sebatang pohon pun yang masih berdiri tegak, semuanya roboh. Hanya
tonggak-tonggak kayu yang tersisa. Mata Si Janda nanar melihat pemandangan yang
terpampang persis di depannya. Tanpa ba bi bu lagi, segera dia mencari batang
ketela pohon. Akhirnya, ia menemukan Ketela Pohon yang sudah tergeletak tak
berdaya.Ia menangis sejadi-jadinya. Ia menyesal karena kemarin tidak pergi ke hutan.
Andai saja ia kemarin datang, ia bisa melihat Ketela Pohon untuk yang terakhir
kalinya dan mengucapkan salam perpisahan. Tapi nasi telah menjadi bubur. Si
Janda hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Dalam tangisnya yang panjang, ia
memohon kepada Tuhan agar dipertemukan kembali dengan Ketela Pohon.
"Jangan menangis, Kawan. Kau dapat memotong tubuhku menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil, lalu tanamlah. Suatu saat nanti kau akan kembali bersua
denganku," kata Ketela Pohon. Si Janda terperanjat namun gembira. Tak
disangkanya Ketela Pohon sahabatnya itu masih bisa bersuara. Segera ia
mengambil tubuh Ketela Pohon yang telah terpotong-potong lalu membawanya pulang
ke rumah. Sesampai di rumah segera ia tanam batang-batang pohon itu sesuai
dengan petunjuk Ketela Pohon.
Waktu berlalu. Batang-batang itu kini telah tumbuh
bersemi. Potongan atang yang ditancapkan si Janda di ladangnya kini tumbuh
menjadi satu pohon yang utuh. Saat si Janda tengah asyik menyiangi tanamannya,
terdengar suara Ketela Pohon, "Terima kasih, hai Janda yang baik hati!
Semua ini berkat kemuliaan hatimu. Tuhan telah mengabulkan doamu."
"Tak apa, Kawan! Aku harus membalas budi baikmu. Kau telah banyak
membantuku." "Oh ya, kini kau bisa mengambil buahku kembali. Tetapi,
kini buahku berada di dalam tanah, batangku juga tak bisa tinggi menjulang
seperti dulu lagi." "Mengapa begitu?" tanya si Janda. "Itu
semua karena kehendak Tuhan. Kau tak perlu khawatir, aku baik-baik saja.Kini,
kau tak perlu takut kehilangan diriku lagi karena kau dapat memperbanyak
diriku. Caranya sama dengan yang kau lakukan kemarin terhadapku." Si Janda
mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu tersenyum bahagia. Kini Ketela Pohon
dapat kembali lagi ke sisinya, walaupun dengan wujud yang sedikit berbeda.
Begitulah, waktu terus bergulir. Ketela Pohon tetap hidup hingga kini. Karena
buahnya berada di dalam tanah, orang-orang menyebutnya dengan sebutan umbi.
Mereka juga meniru cara si Janda memperbanyak tanaman itu yang kemudian lebih
dikenal dengan nama setek. Itulah asal-usul ketela pohon yang kita kenal
sekarang ini.
(Sumber: BSE Bahasa Indonesia Kelas VII SMP)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih Komentar dan sarannya